Rabu, 04 Januari 2017

Dekadensi Pendidikan Karena 300 Rubu Rupia



Dekadensi  Pendidikan Karena 300 Rubu Rupia

Oleh: Muzairoh (1334411011)
Pendidikan merupak suatu proses yang di dalamnya terdapa mengajar, melatih dan mendidik.  Pendidikan mejandi suatu hal yang sangat diutamakan di era modern ini karena dapat menjadi penentu tunas-tunas bangsa yang bangus dan mampu menjadikan negara sebagai pioner bagi negara lain.
 Dalam menciptakan generasi yang multi taskig atau seperti yang telah disebutkan di atas maka diperlukan juga seorang pendidik yang profesional. Pendidik yang profesional adalah seseorang yang mampu merubah suasana dan keadaan supaya menjadi lebih baik, terlebih suasana dalam berfikir seseorang (Siswa).  Pendidik yang profesional tidak tergiur oleh gaji yang banyak. Namun pendidik yang sedemikian itu sudah sangat jarang sekali kita jumpai pada masa sekarang ini, semuanya telah termotivasi oleh uang (gaji) yang banyak atau nomina yang besar.
Seorang dosen di STKIP PGRI Bangkalan pernah mengatakan “ Nak kalau kamu mau mencari uang maka janganlah kamu menjadi guru karena guru bukan tempat mencari uang, tapi kalau kamu mau mencari uang yang banyak maka jadialah kamu seorang pengusaha karena disanalah kau akan mendapatkan uang yang banyak”. Hal itu nampak sekali bahwa pada masa sekrang ini seorang pendidik hanyalah sebagai gelar yang disandang tanpa merubah keadaan dan hal itu disebabkan karena gaji seorang guru atau pendidik hanya 300 ribu rupiah, hal yang tidak sebanding jika dihadapkan pada keadaan sekarang yang semuanya serba mahal dan serba berbau uang dan akibat itu pula maka kualitas pendidikan di negara indonesia ini semakin merosot.
 Pertanyaan saya, Kenapa pendidikan di Indonesia ini semakin merosot? Apakah seorang guru sudah enggan dan bosan dengan perlakuan pemerintah yang seolah-olah tidak mau perduli terhadap seorang guru? Tentu saja kita sebagai pemuda dan penerima warisan atas sebuah bangsa harus faham terhadap gejolak itu, apalagi generasi yang berada di desa terpencil, karena biasanya hal-hal yang sering tertinggal dan tidak diperdulikan itu pendidikan yang ada di desa.
 Perlakuan terhadap guru yang berada di pelosok sungguh sangat terdiskriminasi oleh pemerintah terlebih lagi guru honorer yang setiap bulannya hanya menerima gaji sebesar 300 ribu rupiah, sedangkan guru PN gajinya lebih tinggi dari guru honorer,  padahal guru honorer perannya lebih aktif dibandingkan dengan guru yang sudah diangkat menjadi Pegawa Negeri Sipil (PNS). Sungguh hal itu perlu di kaji ulang oleh pemerintah pusat supaya tidak menjadi bumerang bagi negara ini. Mengapa saya mengatakan sebagai bumerang bagi negara? Ya, kerena kebanyakan dari seorang guru sudah memilih pekerjaan  lain yang lebih banyak mendapatkan nominal dan lebih memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak sedikit pula seorang guru mengejar gelar PN karena menjadi Pegawa Negeri dianggap kerjanya tidak terlalu berat dibandingkan dengan guru honorer dan hasil nominal yang didapatnya pun lebih banyak.
Ambisi menjadi Pegawai Negeri tidak sedikit dan tidak banyak orang-orang menggunakan segala cara dan perbuatan yang paling lumrah dan terpopuler untuk menjadi Pegawai Negeri ialah dengan cara menyogok. Sesuatu yang didapat dari hal buruk ataupun jalan yang tidak jujur maka hasilnya pun tidak akan jujur dan tidak akan maksimal dalam mengajar dan mendidik sebagaimana mestinya seorang guru yang profesional. Yang dimaksud tidak jujur dan tidak maksimal dalam hal ini ialah seorang guru yang hanya sekedar datang kesekolahan untuk memenuhi absen saja tanpa mengajar dan medidik yang baik. Hali itu disebabkan oleh suatu gelar yang disebut Pegawai Negeri (PN).
 Bagaimana mungkin negara Indonesia ini akan mampu menghasilkan generasi-generasi yang intelektual, kreatip, disiplin, terampil dan jujur? jika kualitas pendidik dan pengajarnya saja lebih mementingkan materi dibandingkan hasil yang maksimal. Akibat dari hal tersebut ialah kualitas pendidikan yang sudah semakin menurun. Hali itu berbanding terbalik dengan Rok Mini yang sering digunakan oleh perempuan-perempuan yang sering nongkrong di dalam sebuah Cafe’  yaitu semakin tinggi, namun kualitas pendidikan di negara ini semakin menurun, hal yang sangat memprihatin sekali.
Terlalu murah dan lemah sekali pendidikan di negara Indonesia ini jika pendidikan harus menurun hanya karena 300 ribu rupiah. Hal ini tidak terlepas pula dari tanggung jawab pemerintahan baik pemerintah daerah, kota maupun pemerintah pusat sebagai peninjau dan penimbang terhadap kualitas pendidikan  jika kualitas pendidikan semakin menurun karena 300 ribu rupiah, lalu mengapa pemerintah hanya diam saja seperti katak dalam tempurung. Suaranya hanya keras di tempat namun tak bisa didengar ke tempat-tempat yang kecil yang sulit dijangkau.
Masalah lain, selain daripada materi juga kualitas gedung dan sarana-prasarana yang kurang mendukung. Di perkotaan mungkin bangunannya sangat bagus dan sarana prasananya juga bagus, karena berada di depan mata pemerintah, sehingga hal itu yang menjadi patokan bagi pemerintah bahwa semua gedung sekolahan itu bagus dan mendukung untuk proses belajar mengajar padahal kenyataannya sangat berbalik dari persepsi itu.
Sangat ironi sekali jika kita melihat gedung sekolahan yang berada di pedesaan apalagi desa terpencil yang jauh dari jalan raya, kandang sapi saja lebih layak di tempati di bandingkan dengan gedung dekolahan yang ada di desa terpencil itu, padahal kalau kita tinjau ke tempat itu banyak sekali anak-anak yang berpotensi untuk menjadi tunas bagi bangsa ini, namun apa boleh dikata yang penting rumput dihalaman sendiri hijau tidak perduli rumput di jauh sana. Namun hal itu tidak terlalu berpengaruh selama gedung itu tidak rusak semuanya, tapi seorang guru yang hanya pura-pura mengajar dan mendidik akan sangat berpengaruh terhadap pola fikir siswa.
Begitulah keadaan pendidikan sekarang ini, berjalan namun tetap di tempat, hal itu disebabkan karena pemerintah tidak begitu perduli terhadap guru.




0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

BTemplates.com

Blogroll

About